Sejarah Awal Terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra)


Sejarah Awal Terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra)

Terbentuknya Sulawesi Tenggara tidak terlepas dari peran Kesultanan Buthuuni (Baca Buton), wilayah Sulawesi Tenggara saat ini sebagian besar merupakan wilayah Kesultanan Buthuuni.
Cikal bakal terbentuknya Sulawesi Tenggara diawali dengan ditandatanganinya Kortoverklaring pada tanggal 8 April 1906 yang diajukan oleh Residen Brugman untuk ditanda tangani

Bersama diatas Kapal Perang Belanda de Ruyter pihak Kesultanan Buthuuni diwakili oleh Sultan Adil Rahim Muhammad Asikin (sultan ke-33). Kontrak Perjanjian itu pada intinya menyatakan bahwa Kesultanan Buthuuni telah mengakui bernaung dibawah kekuasaan Hindia Belanda, walaupun pemerintahan kesultanan masih tetap sepenuhnya dijalankan oleh Sultan Buthuuni. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan seperangkat personil administrasi dengan sejumlah pasukan seperlunya sebagai wakilnya di Kesultanan Buthuuni. Namun Kontrak Perjanjian itu menurut Belanda sudah merupakan kesepakatan bahwa Kesultanan Buthuuni bernaung dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda secara Administratif.
 Menindaklanjuti perjanjian tersebut maka Sistem pemerintahan Kesultanan Buthuuni dirubah pada tahun 1913 dibentuklah Distrik Distrik yang dikepalai oleh seorang Kepala Distrik. Di seluruh Kesultanan Buthuuni dan Barata terbentuk 22 Distrik yaitu :

1. Bolio dikepalai oleh Laode Basani
2. Batauga dikepalai oleh Laode Abdul Rahman
3. Sampolawa dikepalai oleh Laode Abd. Hamid
4. Pasar Wajo dikepalai oleh Laode Ali,
5. Bungi dikepalai oleh Laode Mane,                    
6. Kapontori dikepalai oleh Laode Umar,
7. Lasalimu dikepalai oleh Laode Ibrahim,
8. Gu dikepalai oleh Laode Madi,
9. Mawasangka dikepalai oleh Laode Faha,
10. Katobu dikepalai oleh Laode Owo,  
11. Lawa dikepalai oleh Laode Tebe,
12. Tongkuno dikepalai oleh Laode Wolio,
13. Tiworo dikepalai oleh La Raaeta,        
14. Kabawo dikepalai oleh Laode Gumba,
15. Wakorumba dikepalai oleh Laode Santaonga,
16. Kalingsusu dikepalai oleh Laode Gollah,
17. Kabaena dikepalai oleh Laode Sumaidi,
18. Rumbia dikepalai oleh Entera,                    
19. Poleang dikepalai oleh Indowa,                        
20. Tomia dikepalai oleh Laode Taangi,                
21. Binongko dikepalai oleh Laode Palisu,            
22. Kalidupa dikepalai oleh Laode Rawa,  

             Pada tahun 1919 Gouverneur Generaal bersama Raad van Indie memberlakukan “Zelfbestuursregelen” (Ordonansi 1919) tanggal 1 April 1920, sebagai pengganti Ordonansi 1914 yang merupakan tindak lanjut pembagian kekuasaan antara pemerintah Hindia Belanda dan Swapraja-swapraja yang diatur dalam Kontrak Perjanjian Panjang yang isinya berupa pengakuan, dimana pemerintah Swapraja mengakui kedaulatan Koninkrijk (Nederland) atas daerahnya, mengakui Swapraja sebagai suatu bagian dari pada wilayah Hindia Belanda, dan menyerahkan kekuasaan penuh kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur kedudukan Swapraja itu dalam ikatan Hindia Belanda, dengan menyatakan bahwa semua peraturan peraturan dan perintah perintah yang dikeluarkan oleh atau atas nama Pemerintah Hindia Belanda akan ditaatinya Bahwa asas asas Zelfbestuursregelen (Ordonansi tahun 1919) yang mulai berlaku 1 April 1920.
Dalam Zelfbestuursregelen itu pembagian kekuasaan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Swapraja-swapraja dengan “Pernyataan Pendek” itu diatur menurut azas-azas yang juga termuat dalam kontrak-kontrak panjang yaitu :

1. Susunan pemerintahan intern Swapraja pada umumnya tetap berdasarkan “Adat-Istiadat Tradisionil” Kerajaan berangkutan.
2. Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dalam daerah Swapraja hanya berlaku penuh bagi “warga Gubernuran” atau Gouvernements onderhorigen, Gouvernements Justisiabelen, dan bagi “warga Swapraja “ hanya sekedar sesuai dengan kekuasaan autonom yang dibiarkan kepada Swapraja itu.
3. Kekuasaan autonom Swapraja itu meliputi hak mengatur, mengurus (termasuk Polisi) dan mengadili persengketaan hukum disemua lapanganyang tidak dengan nyata dikecualikan dari kekuasaan itu.

Pada tahun 1938 bertepatan dengan awal pemerintahan Muhammad Falihi Kaimuddin pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang Undang yang disebut “Zelf Bestuur Regeling”(Ordonansi l938 No.524), dimana Undang-Undang tersebut telah mengatur secara langsung kekuasaan pemerintahan kerajaan (Zelf Bestuurende Landschappen) yang berada dalam lingkungan Keresidenan Wilayah Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1940 melalui penetapan Gouvernour van Grote Ost (Gubernur Timur Besar) tanggal 24 Februari 1940 (No.21 Staadblaad 14377 menjadikan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara menjadi 7 buah Daerah Afdeling yitu :
1. Afdeling Makasar, ibukotanya Makasar.
2. Afdeling Bonthain, ibukotanya Bonthain.
3. Afdeling Bone, ibukotanga Watampone.
4. Afdeling Pare Pare, ibukotanya Pare Pare.
5. Afdeling Mandar, ibukotanya Majene.
6. Afdeling Luwu, ibukotanya Palopo.
7. Afdeling Buthuuni dan Laiwui, ibukotanya Bau-Bau.

Afdeling adalah suatu Daerah otonom yang berstatus Kewedanaan yang dikepalai oleh seorang “Kontroleur”. Pemerintahan Afdeling dapat dikatankan tidak berjalan, sebab pada tahun 1941 pecah perang pasifik dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaan atas Hindia Belanda kepada Jepang.

Usai perang dunia kedua yang dimenangkan oleh sekutu, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Belanda yang tidak mau kehilangan daerah jajahannya membonceng pada NICA untuk masuk ke Indonesia dan berhasil menduduki  Jawa dengan bantuan sekutu. Perjuangan kemerdekaanpun berkobar-kobar yang akhirnya melahirkan Aksi Militer I dan II Belanda, melawan pejuang bangsa Indonesia di Jawa  dan daerah lainnya yang dianggapnya melawan ekstremis-ekstremis.

Bahwa status Kesultanan Buthuuni kembali diperbincangkan setelah terjadinya penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang merupakan bagian dari Hindia Belanda, sementara dalam uraian daerah- daerah Swapraja yang dinyatakan menjadi bagian Hindia Belanda tidak tercantum nama Kesultanan Buthuuni secara tersurat dalam daftar penyerahan Hindia Belanda kepada RIS.

Terakhir Belanda membentuk lagi sistem pemerintahan baru di  Sulawesi Selatan yang disebut “Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi”dengan pucuk pimpinan secara kolegiat (bersama) yang terdiri dari 5 (lima) orang sebagai Badan Pemerintah Harian dan didampingi seorang Sekretaris asal Belanda. Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi yang diampingi dan dibantu oleh Dewan Penasehat yang berjumlah 40 orang itu pada dasarnya adalah sistem yang akan menguatkan kedudukan Belanda, dimana hanya wujudnya banyak melibatkan pribumi atau pejabat kerajaan- kerajaan Gabungan tetapi kenyataan pemegang wewenang dan kekuasaan dalam Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi tersebut adalah Belanda. Oleh sebab itu Kesultanan Buthuuni tidak mengintegrasikan diri secara langsung pada sistem pemerintahan kolegiat itu yang berlangsung tahun 1948 - 1951. Gabungan Pemerintahan Hadat Tinggi itu tidak berjalan sebagaimana yang dikehendaki sebab Kerajaan Kerajaan gabungan yang menjadi anggotanya yang banyak melepaskan diri, sehingga sistem pemerintahan kolegiat didalamnya tidak lagi berjalan. Hal itu berkaitan dengan meningkatnya aktifitas menghadapi Konprensi Meja Bundar (KMB) dimana Negara Indonesia Timur akan menjadi Negara bagian RIS setelah penyerahan kedaulatan oleh Raja Belanda.

Perlu diketahui bahwa Kesultanan Buthuuni yang memiliki kekuasaan dari sebagian besar Sulawesi Tenggara tidak termasuk wilayah Hindia Belanda yang dinyatakan berada dalam kekuasaan Negara Indonesia Timur (NIT) sejak masuknya Gubernur Jenderal Van Mook tanggal 20 oktober 1945 di Jakarta, sebab Wilayah yang dinyatakan dalam kekuasaan NIT adalah wilayah wilayah yang secara de facto telah dikuasai oleh Belanda yaitu Sulawesi Selatan dan Maluku selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara, beberapa Kota Besar di Jawa dan Sumatera, menyusul wilayah yang dikuasai pada aksi Militer Belanda tahun 1947 yaitu Pulau Madura, Jawa Timur, sebagian Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Timur termasuk Bangka dan Belitungdimana dalam hal itu Kesultanan Buthuuni tidak dicantumkan sebagai wilayah kekuasaan Hindia Belanda itu. Kesultanan Buthuuni tidak dalam kekuasaan NIT yang dipandang merupakan bagian  Hindia Belanda yang akan diserahkan menjadi Negara Negara Bagian RIS dalam KMB, sebab Buthuuni terbukti tidak pula mengirim wakilnya atau utusannya pada Konperensi Den Pasar tanggal 7 Desember 1946 yang terdiri dari 55 wakil Daerah yang tergabung dalam Groote Ost dalam rangka penetapan keputusan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Dapat pula kita perhatikan bahwa Kesultanan Buthuuni tidak turut pada pertemuan politik di Malino tanggal 16-24 Juli 1946 maupun lanjutan pertemuan itu di Pangkal Pinang tanggal 1-12 Oktober 1946 yang merupakan dasar Konperensi Den Pasar tersebut diatas.

Demikian perkembangan keadaan di Indonesia dan status Kesultanan Buthuuni sebelum pelaksanaan KMB tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 3 September 1949 di Den Haaq Negeri Belanda.

Pada tanggal 27 Desember 1949 mulai berlaku Konstitusi RIS dan berdasarkan Konstitusi itu, kekuasaan konstitusi Negara Negara dan Daerah Daerah Bagian tetap berlaku. Berdasarkan Undang Undang Federal ex pasal 44 Konstitusi RIS tahun 1950 semua Negara Negara dan Daerah Daerah Bagian “dipulihkan” kedalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia,  kecuali Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatera Timur (NST) dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, sehingga dengan demikian kembali kepada Konstitusi 17 Agustus 1945 dan UU No.22 tahun 1948. Pada tanggal 17 Agustus 1950 mulai berlaku Konstitusi RI 17 Agustus 1950, sehingga secara otomatis berakhirlah Konstitusi RI 1945 serta Staatsregeling NIT dan NST dan Kalimantan Barat. Dengan berlakunya Konstitusi RI 17 Agustus 1950 itu status Pemerintah daerah dan daerah-daerah Swapraja yang berada dalam kekuasaan de facto Belanda menjadi jelas pijakannya yaitu diatur dalam Bab IV pasal 131, 132, dan 133. Sedang bagi kerajaan- kerajaan Swapraja yang tidak berada dalam kekuasaan NIT, NST dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat belum terikat dengan Undang-Undang RI 17 Agustus 1950 tersebut.  Adapun ketentuan Pasal 131, 132 dan 133 Undang Undang 17 Agstus 1950 tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 131 menentukan bahwa :

1. Undang Undang membagikan wilayah Indonesia atas Daerah Daerah Autonom, besar dan kecil, dan menetapkan bentuk bentuk pemerintahannya yang harus bersifat demokratis menurut sistem perwakilan. (131 ayat 1).
2. Autonominya harus bersifat seluas luasnya (131 ayat 2).
3. Dengan Undang Undang dapat diserahkan “Medebewind” kepadanya (131 ayat 3).

Pasal 132 menentukan bahwa :

1. Kedudukan (status) Swapraja-swapraja diatur dengan Undang- Undang dengan mengingat ketentuan ketentuan pasal 131 (132 ayat 1).
2. Swapraja-swapraja yang ada hanya dapat dihapuskan atau diperkecil :
a. Dengan kehendaknya sendiri.
b. Melawan kehendaknya sendiri, sesudah Undang-Undang memberi kuasa kepada pemerintah beralasan “kepentingan umum”.
3. Persengketaan hukum tentang Undang-Undang yang mengatur kedudukan Swapraja-swapraja dan cara menjalankannya (Administratieve Rechtspraak) diadili oleh pengadilan pengadilan tersebut dalam pasal 108 yaitu : Pengadilan Perdata Biasa (Gewone Burgerlijk Rechters) atau alat-alat perlengkapan lain (132 ayat 3).

Pasal 133 menentukan bahwa jo (142,143 ketentuan ketentuan peralihan umum) bahwa :
      Menunggu Undang-Undang yang mengatur keadaan Swapraja-swapraja peraturan peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa pejabat pejabat (fungsionaris) Daerah Daerah Bagian (Negara Negara dan Daerah Daerah Bagian RIS) yang tersebut dalam peraturan peraturan itu diganti dengan pejabat pejabat RI.

Maksud dari beberapa pasal Undang-Undang ini ialah agar kedudukan dan susunan pemerintahan intern daripada semua daerah-daerah Autonom, baik Daerah biasa, maupun Daerah Istimewa (Swapraja) didasarkan atas Undang-Undang. Dalam hal ini ada maksud bahwa daerah-daerah Autonom dengan pengaturan (Regeling) dan mengurus (Bestuur) itu dikendalikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih oleh rakyat dengan jangka waktu yang ditetapkan 5 tahun. Berkenaan dengan hal ini maka DPR memilih diantara anggota-anggotanya suatu Dewan Penyelenggara Harian yaitu Dewan Pemerintah Daerah (Dagelijks Bestuur, Comite Executive) yang bekerja semata mata sebagai penyelenggara keputusan keputusan DPR sesuai dengan pedoman (instruksi) yang ditetapkan DPR yang disahkan oleh Instansi Pengawas Atasan yang diatur pada pasal 15,1,2 UU 17 Agustus 1950. Jadi mengatur yang dimaksudkan disitu ialah tentang “mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya”, yang dilaksanakan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan bagi Daerah Autonom biasa Kepala Daerah Administrtif yang merangkap sebagai Ketua DPD. Dalam Daerah Autonom Biasa “fungsionaris” DPD Propinsi diangkat oleh Presiden, fungsionaris DPD Kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Bagi Daerah Istimewa (Swapraja), fungsionaris baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Desa diangkat oleh Presiden dari keturunan kelurga yang berkuasa (Raja/Sultan) di Daerah Istimewa itu sebelum Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Kepala Daerah Autonom biasa dapat diberhentikan oleh yang berwajib (yang mengangkatnya) sesuai usul DPR, sedang Kepala Daerah Istimewa tidak melalui usul DPR.

Khusus Kepala Daerah Istimewa pemberhentiannya hanya dapat dilakukan atas “kehendak Swapraja” itu sendiri yaitu bilamana atas kehendak rakyat Daerah Swapraja. Oleh karena itu Sultan Buthuuni tidak dapat diberhentikan oleh Presiden sebab tidak ada lagi wakil rakyat Swapraja Buthuuni yang membuat usul pemberhentian Sultan berdasarkan Undang Undang 17-8-1950. Itulah sebabnya sehingga Persiden Soekarno memberikan pesan dari hati kehati kepada Sultan Buthuuni bahwa : “apabila Sultan Buthuuni Muhammad Falihi telah mangkat maka tidak dibolehkan lagi mengangkat Sultan Buthuuni yang baru”, pesan mana dinyatakan oleh Presiden Soekarno atas nama pribadi pada pertemuan Raja Raja di Sungguminasa Makasar tahun 1954.. Mengawali pertemuan khusus dengan Sultan Buthuuni itu Presiden Soekarno telah bertanya kepada Sultan Buthuuni tentang “apa maunya Buthuuni”, tetapi Sultan hanya menerangkan bahwa Presiden Soekarno sendiri lebih tahu apa maunya Buthuuni, sebab Buthuuni berintegrasi dengan Negara RIS selanjutnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah berdasarkan kesepakatan tanpa didukung oleh Undang-Undang dan ketika itu Sultan sendiri berbicara dengan Soekarno bulan Desember tahun 1950. Itulah sebabnya sehingga Sultan Muhammad Falihi tidak bisa memberikan jawaban kesimpulan ketika ditanya oleh Presiden Soekarno, dan lagi pula seorang Sultan tidak mempunyai hak  untuk mengambil keputusan tentang nasib Buthuuni tanpa persetujuan Sara Kesultanan Buthuuni sebab beliau hanya bisa memberikan jawaban sesuai dengan persetujuan Sara Kesultanan yang ketika itu sudah dibekukan oleh Pemerintah RI secara sepihak. Sultan Buthuuni hanya berkata sebagai “Yapai bula yapai kalipopo, kukamatea kaa pokana kanamo”. Artinya : dimana bulan dimana bintang saya lihat sudah  sama saja. Maknanya : bahwa pada prinsipnya nasib Buthuuni berintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sama saja dengan  jika Buthuuni berdiri sendiri sebagai Kesultanan yang bebas (merdeka). Ketika itu kenyataan kehidupan kemakmuran Kesultanan Buthuuni jauh lebih baik dari pada kehidupan bangsa Indonesia yang baru saja mendapat kedaulatannya dari Belanda melalui KMB.    

Pesan atau Instruksi Presiden Soekarno tersebut sesungguh nya bertentangan dengan maksud pasal 131,132,133 Undang- Undang 17 Agustus 1950 yang berlaku saat itu, sebab tidak berpijak pada asas kemauan rakyat Daerah Swapraja Buthuuni  dan tidak terlebih dahulu ditetapkan dengan Undang-Undang penghapusan ataupun pemulihan status yang disetujui dan disahkan oleh Parlemen RI atas dasar kemauan  rakyat daerah Swapraja Buthuuni sesuai ketentuan Bab IV Pasal 132 ayat 1 dan 2a Undang Undang 17 Agustus 1950  Pasal 142 dan Pasal 143 tentang ketentuan ketentuan peralihan umum. Bagi Buthuuni ketika itu tidak dapat diperlakukan dengan Undang-Undang Darurat sebab Buthuuni bukan wilayah de facto Hindia Belanda ketika penyerahan Hindia Belanda kepada RIS.

Sebagai suatu perbandingan dapat diperhatikan pemberlakuan UU. 17 Agustus 1950 terhadap Daerah Swapraja di Indonesia dibawah ini :
1. Swapraja-Swapraja Surakarta dan Mangkunegaradihapuskan dengan Penetapan Pemerintah RI 1946 No.16 / S.D. dan dijadikan Keresidenan yang dengan UU.RI. 1950 No.10 dimasukkan kedalam Propinsi Jawa Tengah.
2. Swapraja-swapraja Jokyakarta dan Paku Alamdengan UU.RI. 1950 No.3 (jo.1950 No.19. P.P.1950 No.31) dijadikan daerah Istimewa Jokyaktarta dengan tingkat Propinsi (UU.1948 No.22).
3. Swapraja-swapraja di Sumatera dalam bulan Maret 1946 dihapuskan oleh “Revolusi Sosial”.
4. Neo Landschap Bangka, Billiton dan Riau (Ind.Staadsblad 1947 Nos.123-125 jo.1948 No.189) dan Federasinya (Ind. Staadsblad 1948 No.123) dihapuskan, waktu daerah-daerah itu dipulihkan (Berita Negara RIS 1950 No.23).

Swapraja-Swapraja yang ditetapkan statusnya dengan Penetapan Pemerintah RI diatas semuanya berpijak  atas kemauan rakyat dari Daerah Swapraja itu sendiri sesuai Pasal 132 ayat 1 dan 2a UU. 17 - 8 - 1950. Oleh sebab itu penetapan status Kesultanan Buthuuni sebagai Daerah status Keresidenan ataupun Swatantra  terlebih lagi sebagai Kabupaten bertentangan dengan Undang Undang, kecuali atas kemauan Rakyat Buthuuni sendiri. “Kemauan Rakyat Sendiri” (kunci legalitas penetapan status  daerah Swapraja menurut Undang Undang RI 17 Agustus 1950).

Adanya ketentuan penghapusan dan pemulihan berdasar Undang Undang tersebut diatas, hanya Kalimantan dan dibekas wilayan NIT masih terdapat sejumlah Swapraja-swapraja dan Neo Landschappen. Akan tetapi dalam sebagiannya Organ Organ-nya telah “bubar dan dibekukan” hal mana berlawanan dengan Konstitusi 17 Agustus 1950. (G.J. Wolhoff 1960. ibid). Disamping itu Kesultanan Buthuuni  juga tidak dihapus oleh UU. Darurat NIT 1950 No.44, sehingga dengan demikian tidak ada alasan hukum untuk menghapuskan Swapraja Buthuuni sebagai Kesultanan yang berdaulat secara hukum, yang memiliki wilayan territorial secara de facto dan mendapat pengakuan secara de jure atas eksistensinya selaku Kerajaan berdaulat. Dan itulah juga sebabnya sehingga Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin diam /menolak setelah mendengarkan Istruksi Presiden Soekarno untuk menghapuskan Kesultanan Buthuuni setelah Sultan meninggal, dimana Presiden atas imbalan Instruksinya tersebut menjanjikan hal-hal sebagai berikut :

1. Apabila Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar, Semarang dan Bandung  telah dibangun maka Buthuuni akan dibangun pula. (Sebagaimana diketahui janji ini tidak pernah dilaksanakan sampai dengan wafatnya Sultan Muhammad Falihi pada tanggal 23 Juli 1960 dan wafatnya Soekarno tahun 1970).
2. Undang Undang Pertanahan akan diberlakukan juga di Buthuuni yang telah dilakukan kemudian sesuai Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No.104).

Maka hal penting yang menjadi pertanyaan rakyat Buthuuni adalah “legalitas apa yang digunakan pemerintah Hindia Belanda atau RIS ataupun Republik Indonesia untuk menghapus Kesultanan Buthuuni yang mempunyai Rakyat, mempunyai wilayah territorial de facto, mempunyai status hukum de jure dan mempunyai bentuk dan wujud formal pemerintahan sendiri, dengan kebudayaan dan peradaban sendiri, yang sudah bereksistensi 7 (tujuh) abad itu ?, dimana sebelum Hindia Belanda atau RIS ataupun RI lahir, Buthuuni sudah diakuai keberadaannya sebagai sebuah Negara Kerajaan dalam lintas Kerajaan Kerajaan di Nusantara?”. Sudah tentu berdasarkan atas pengakuan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” sebagaimana menjadi Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 hal ini perlu menjadi koreksi sejarah, tanpa mengabaikan bahwa Kesultanan Buthuuni adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1950 melalui proses “intergrasi” berdasarkan inisiatif Sultan Muhammad Falihi sendiri tanpa persetujuan atau rekomendasi persetujuan tertulis dari Sara Kesultanan, sebab ketika itu Sara Kesultanan telah dihapuskan berdasarkan keinginan sepihak oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyusul pelaksanaannya secara formal  dilakukan melalui “demokrasi Sering” yang dijalankan oleh Kaharuddin Syahadat tahun l952 sehubungan dengan intergrasi  kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah berlaku sejak tahun 1950. Kesultanan Buthuuni seyogyanya wajib diperlakukan sama dengan Daerah Istimewa Jokyakarta oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengingat status Kerajaan atau Kesultanan Buthuuni yang merdekadari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda ketika penyerahan kedaulatan tahun 1949 melalui KMB, yang juga sebelumnya dikuatkan pula oleh kenyataan jatuhanya Pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang tahun 1942 dimana Buthuuni kembali merdeka sepenuhnya sesuai sejarah eksistensinya.

Kemudian pada tahun 1952 terbentuk 7 (tujuh) Daerah Swatantra di Sulawesi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 1952 (Lembaran Negara 1952/48 TLN 263). Ketujuh daerah swatantra itu adalah :

1. Daerah Makasar ibukotanya Makasar
2. Daerah Bonthain ibukotanya Bonthain
3. Daerah Bone ibukotanya Watampone
4. Daerah Pare-Pare ibukotanya Pare-Pare
5. Daerah Mandar ibukotanya Majene
6. Daerah Luwu ibukotanya Palopo
7. Daerah Sulawesi Tenggara ibukotanya Bau-Bau

      Daerah Swatantra Sulawesi Tenggara dipimpin oleh Kepala Daerah Abdul Razak Baginda Maharaja Lelo. Dalam hal ini Kesultanan Buthuuni tetap berjalan dalam status Self Bestuur Buthuuni sebagaimana biasa sesuai “Adat demokrasi pemerintahan Kesultanan Buthuuni”,walaupun organ-organ Kesultanan seperti Sara Kesultanan telah dibekukan melalui demokrasi shering, sehingga Sultan sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Swapraja Buthuuni hanya didampingi oleh suatu Dewan yang terdiri dari 4 (empat) orang anggota Daerah Swapraja Buthuuni yaitu :

1. Laode Falihi, Kepala Daerah Swapraja Buthuuni
2. Laode Hibali anggota.
3. Laode Muhammad Hanafi, anggota.
4. La Madju, anggota.
5. Abdul Hasan, anggota.

      Pada tahun 1959 Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin turut dalam pertemuan untuk membicarakan peningkatan status Sulawesi Tenggara sebagai Daerah Tingkat I dan peningkatan status Muna sebagai Daerah Tingkat II yang juga dihadiri oleh Raja Muna Laode Pandu.

Berdasarkann Perpu No. 2 tahun 1964, Jucto UU Nomor 13 tahun 1964 Sulawesi Tenggara lahir dan menjadi Daerah Otonom Tingkat I dan pelaksanaan serah diterimah dilakukan pada tanggal 27 April 1964 dengan Gubernur yang pertama J. Wayong ( 1964 – 1965 ). Dengan penetapan ini maka Sulawesi Tenggara menjadi Propinsi yang berdiri sendiri yang meliputi empat ( 4 ) daerah tingkat II yakni Buthuuni, Muna, Kendari dan Kolaka. Wilayah Sulawesi Tenggara ditetapkan secara geografi berada di jazirah bagian selatan Garis Khatulistiwa memanjang dari Utara ke Selatan  di antara 3 derajat – 6 derajat LS dan membentang dari Barat  ke Timur di antara 120 derajat 45 menit - 124 derajat 60 menit dengan empat kabupaten, yaitu Kabupaten Buthuuni, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka. Sulawesi Tenggara disebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi NTT di Laut Flores, di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Maluku di Laut Banda dan di sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan di Teluk Bone.

Diusianya yang ke 47 ini Propinsi Sulawesi Tenggara telah dimekarkan menjadi 12 kabupaten dan kota dan telah dijabat oleh delapan ( 8 ) Gubernur . Adapun Gubernur yang pernah menjabat di Sulawesi Tenggara adalah :

1. J. Wayong ( 1964 – 1965 )
2. La Ode Hadi ( 1965 – 1965 )
3. Edi Sabara ( 1966 – 1978 )
4. Drs. Abdulah Silondae ( 1978 – 1982 )
5. Ir. H. Alala dua periode ( 1982 – 1987, 1987 – 1992 )
6. Drs. La Ode Kaimoeddin dua periode (1992 –1997, 1997 – 2002)
7. Ali Mazi, S.H ( 2003 – 2008 )
8. Nur Alam, SE dua periode  ( 2009 – 2014, 2014-Sekarang )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Raja Muna

MENGENAL SUKU MUNA

STRATEGIC MANAGEMENT (Wheelen and Hunger)